JAKARTA – Kembali bergulirnya isu ijazah palsu yang dimiliki Joko Widodo disebut justru bisa ‘menguntungkan’ Sang Mantan Presiden RI, karena publik malah fokus terhadap isu ini ketimbang kasus-kasus lain yang menjerat Jokowi.
Polemik ijazah palsu milik mantan Presiden Jokowi kembali mencuat setelah dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, yang mempertanyakan keaslian ijazah Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui kanal YouTube Balige Academy bulan lalu.
Selain itu, ada juga gugatan dari pengacara asal Solo, Muhammad Taufiq, yang membentuk tim kuasa hukum bernama Tim Penggugat Bukti Ijazah Asli Jokowi Usaha Gak Punya Malu (TIPU UGM).
Gugatan tersebut telah didaftarkan secara resmi ke Pengadilan Negeri Kota Solo pada Senin, 14 April 2025. Selain Jokowi sebagai Tergugat I, ada tiga tergugat lain, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo, SMA Negeri 6 Solo, dan UGM.
"Saya menggugat karena tim kami menemukan fakta bahwa ada informasi yang menyebutkan bahwa ijazah SMA Pak Jokowi berasal dari laman UGM yang mencantumkan SMA 6 Kota Surakarta (Solo). Itu tentu tidak benar," ujar Taufiq.

Ancaman Hukuman Penjara
Ini bukan pertama kalinya kasus ijazah palsu mencuat di Indonesia. Pada 2017, publik dikejutkan dengan kabar dugaan pemalsuan dokumen Surat Keterangan Lulus (SKL) dari jenjang S2 dan S3 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) milik pelawak Nurul Qomar.
Ketika itu, ia berstatus sebagai rektor Universitas Muhadi Setiabhudi (UMUS). Namun pihak kampus justru melaporkan Qomar karena diduga menggunakan dokumen palsu sebagai salah satu syarat menjadi rektor UMUS.
Setelah menjalani rangkaian sidang di Pengadilan Negeri Brebes, Jawa Tengah, kasus dugaan pemalsuan dokumen SKL program S2 dan S3, Qomar divonis 1 tahun 5 bulan penjara oleh majelis hakim.
“Menyatakan terdakwa Nurul Qomar telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana memakai surat palsu. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa satu tahun lima bulan penjara,” ucap Ketua Majelis Hakim, Sri Sulastuti, saat membacakan vonis di PN Brebes, Senin (11/11/2019).
Pengamat Hukum Pidana Masykur Isnan menuturkan, penggunaan ijazah palsu dapat diancam pidana penjara maksimal lima tahun dan/atau denda maksimal Rp500 juta berdasarkan undang-undang dan KUHP. Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan pasal pemalsuan surat.

Masykur Isnan menjelaskan, pada Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa siapa pun yang terbukti menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesional, dan/vokasi palsu dapat dikenai hukuman pidana penjara maksimal lima tahun dan/atau denda hingga Rp500 juta.
Selain itu, ancaman hukuman pemalsuan ijazah juga tertera di pasal 263 ayat (2) KUHP tentang pemalsuan surat, serta UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
“Selain itu mereka yang membantu memberikan ijazah juga harus mempertanggungjawabkannya,” kata Isnan kepada VOI.
Dalam konteks politik, Isnan menambahkan, hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap figur yang dituding menggunakan ijazah palsu. Publik akan mempertanyakan kredibilitas, integritas, serta kompetensi yang bersangkutan dan partai politik terkait.
“Juga dapat mempengaruhi basis dukungan dan elektoral. Sejatinya partai politik juga memiliki andil besar dalam proses rekrutmen anggota, pengurus atau yang nantinya akan menduduki jabatan publik, tidak boleh asal, dan perlu validasi akurat,” imbuhnya.
Akibat Polarisasi Politik
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyebut permasalahan dugaan ijazah palsu Jokowi adalah hal yang dilematis. Di satu sisi, masyarakat butuh kepastian hukum, karena memalsukan dokumen, apalagi dokumen tersebut dilibatkan dalam syarat sistem pemerintahan, adalah tindakan kriminal.
“Sehingga perlu untuk diusut dan mendapat hukuman sepadan. Ijazah Jokowi jika palsu maka Jokowi perlu diadili,” ujar Dedi.
Namun di sisi lain, Jokowi sudah tidak lagi berkuasa, artinya isu ijazah pun seharusnya sudah tidak relevan. Dedi menegaskan, ada lebih banyak isu yang lebih penting, misalnya bagaimana keterlibatan Jokowi dalam dugaan kolusi, tindak lanjut laporan ke KPK oleh sipil terkait dugaan korupsi keluarga Jokowi, atau kebijakan Jokowi yang potensial mengganggu konstitusi kita.

Untuk itu, ia berharap kembalinya isu ijazah palsu Jokowi tidak dimanfaatkan yang bersangkutan untuk mengaburkan masalah yang lebih besar.
“Dengan melihat banyak persoalan yang potensial mengarah ke Jokowi, maka isu ijazah palsu ini bisa jadi menguntungkan Jokowi,” katanya.
“Jokowi bukan tidak mungkin ikut memelihara agar isu ini tetap bertahan, publik perlu memperhatikan situasi itu, jangan sampai justru dimanfaatkan secara politis,” tambah Dedi.
Hal senada juga disampaikan analis politik Hendri Satrio. Ia mengatakan publik seharusnya tak perlu lagi meributkan soal ijazah palsu karena polemik ini hanya memperburuk citra Indonesia di mata dunia.
Sebelumnya, pria yang akrab disapa Hensa ini membuat polling di akun X @satriohendri yang mempertanyakan dampak jika ijazah Jokowi dari UGM terbukti palsu. Dari jajak pendapat yang diikuti 5.498 responden, sebanyak 48 persen memilih opsi “dunia tertawakan kita” jika ijazah ini terbukti palsu. Opsi lainnya, “Jokowi” malu mendapat 6,1 persen suara, kemudian “UGM dibubarkan” sebanyak 22,3 persen, dan “Jokowi mesti kuliah lagi” 23,3 persen.
BACA JUGA:
Menurut Hendri, isu ini sudah tak perlu dibahas karena pihak UGM telah berkali-kali mengklarifikasi masalah ini.
"Tapi entah mengapa, hingga sekarang masih banyak yang menggoreng isu ini padahal banyak isu yang lebih penting, misal soal korupsi hingga ratusan triliun dan ekonomi negara yang masih belum pasti aman," ujarnya.
Isu ijazah palsu kembali berkembang, kata Hendri, karena polarisasi politik yang masih tajam di masyarakat. Ia menilai, masih banyak kelompok yang belum puas dengan warisan politiknya.
"Isu ijazah ini cerminan ketidakpuasan sebagian kelompok terhadap Jokowi, meski dia sudah lengser namun pengaruhnya masih besar sehingga narasi seperti ini terus dihidupkan untuk menyerang legitimasi kepemimpinannya," pungkas pria yang biasa disapa Hensat itu.